PROKAL.CO, SAMARINDA – Bank Indonesia masih harus bekerja keras menekan biaya produksi uang logam, karena tren selisih inflow dan outflow yangterlampau besar. Di Kaltim, misalnya. Dari Rp 11,13 miliar yang disalurkan sepanjang 2017, hanya sekitar 15 persen yang kembali ke kas bank sentral.
Secara umum, untuk semua jenis pecahan, Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw-BI) Kaltim memang memiliki kecenderungan tren net-outflow. Artinya, lebih banyak mencatatkan uang keluar daripada masuk. Namun, penyebab utamanya adalah karena memang perputaran uang lebih banyak mengarah ke luar daerah, mengingat banyaknya pekerja pendatang di daerah ini.
Khusus untuk uang logam, tren outflow pada kas BI di Kaltim lebih disebabkan banyaknya uang yang “tertimbun”. Pasalnya, tak sedikit kalangan yang menghindari penggunaan uang logam karena dianggap merepotkan. Keberadaannya pun kerap diabaikan, sehingga perputarannya banyak terhenti.
ManajerTim Pengembangan Ekonomi KPw-BI Kaltim Christian menjelaskan, situasi itu sebenarnya bukanlah masalah mendasar. Kurang maksimalnya perputaran uang logam oleh masyarakat, merupakan kelemahan sistem pembayaran tunai.
“Di sisi lain, banyak juga keluhan masyarakat yang menerima kembalian uang receh dalam bentuk barang, seperti permen atau yang lain. Alasannya karena tidak ada uang logam,” ujarnya saat diwawancarai Kaltim Post, Senin (9/4).
Faktanya, sepanjang tahun lalu, BI telah mengalokasikan Rp 11,13 miliar uang pecahan logam untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Namun, tak dimaksimalkan sebagai transaksi. “Persediaan uang kecil (logam) yang banyak, juga kadang merepotkan pedagang untuk menyimpannya,” kata Christian.
Selain minim digunakan dalam transaksi, tak maksimalnya perputaran uang logam memicu tingginya biaya operasional Bank Indonesia. Walau nilainya kecil, ongkos untuk uang pecahan logam lebih mahal dari pecahan kertas. Bisa mencapai Rp 3 triliun per tahun yang digunakan untuk mencetak, mengedarkan, dan menghancurkan.
Sebagai pembanding, biaya operasional untuk uang logam dengan uang pecahan Rp 100 ribu sama. Bahkan uang logam lebih mahal pembuatannya.
“Dari situasi ini, makin terasa pentingnya gerakan nasional nontunai (GNNT) untuk memudahkan sistem pembayaran kita. Gerakan ini mendorong masyarakat menggunakan instrumen yang lebih mudah dan efisien,” ungkapnya.
Kelebihan lainnya, transaksi dalam sistem pembayaran nontunai juga lebih akurat tercatat. Itu memudahkan bank sentral maupun stakeholder bidang moneter lain lebih mudah dalam memantau perputaran uang.
“Uang logam yang sering menjadi kembalian, juga tidak sesuai bilangan transaksi. Apalagi kalau pecahannya kecil, semisal sampai tingkat sen. Kalau dengan nontunai, misalnya elektronik, 75 perak tetap dikembalikan,” tuturnya. (*/ctr/man2/k8)